PORTALISLAM.CO.ID – Perempuan, lelaki, hingga anak kecil berdesak-desakan di hadapan gerbang keluar Stadion Kanjuruhan. Dari arah lapangan, polisi terus menembakkan gas air mata. Sementara gerbang terkunci rapat-rapat. Di Pintu 13, nyawa mereka melayang.
KOPI HITAM pesanannya belum lagi habis diseruput, ketika Eko Arianto mendengar suara menggelegar dari dalam Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu 1 Oktober 2022.
“Tar… taarr…taaarrr….”
Malam belum demikian terlarut, tetapi untuk ukuran laga sepakbola di Indonesia, jam sepuluh malam biarlah hulu.
Dalam stadion, wasit barusan tiup semprit akhiri pertandingan derby classic Arema Malang versi Persebaya Surabaya. Tuan-rumah kalah dari score 3-2.
Eko terkesiap. ia mengetahui, suara menggelegar itu datang dari senapan gas air mata yang umum dipakai polisi jika antarsuporter turut serta bentrokan.
Tetapi dia ragu, hanya karena Aremania yang melihat dalam stadion. Tidak ada supporter Persebaya.
Eko sebetulnya telah beli ticket untuk melihat dalam. Tetapi malam itu, dia memilih tidak saksikan secara langsung di tribune, tetapi minum kopi di warung dekat gerbang nomor 10 stadion.
Rasa ingin tahunya semakin bertambah, saat dari pintu dekat warung kopi kedengar suara jeritan beberapa orang minta bantuan.
Eko segera merapat ke pintu tribune 10. Figur pertama kali yang ketangkap matanya ialah seorang wanita lemas.
Di tengah jeritan minta bantuan, wanita yang lemas itu jatuh tidak sadarkan diri.
“Mas… mas, tolong mas, kami tidak dapat keluar,” teriak seorang dari dalam gerbang.
“Ada gas air mata,” teriak lainnya.
Beberapa Aremania segera membantu beberapa orang yang terjerat tidak dapat keluar pintu nomor sepuluh.
Lega karena telah ada yang memberikan kontribusi, Eko ajak beberapa temannya lainnya mengecek keadaan pintu yang lain.
Setelah tiba di pintu 13, Eko hadapi dengan panorama menakutkan. Wanita, lelaki, bahkan juga anak-anak yang keseluruhnya Aremania berdesakan terjebak.
Pintu keluar terkunci rapat-rapat. Dari arah lapangan, masih kedengar suara shooting gas air mata yang diperuntukkan ke mereka.
Sempat ada yang memerintah mereka ke tribune pemirsa, supaya tidak berdesakan di muka pintu. Tetapi permasalahannya, polisi tembakkan gas air mata ke tribune. Mereka terjerat.
Di tengah-tengah kesesakan, Eko menyaksikan beberapa orang yang terjerat usaha membobol dinding semen supaya bisa keluar stadion.
Dengan alat seadanya, Aremania berusaha membobol dinding itu. Eko dan temannya memiliki inisiatif cari aparatur keamanan disekitaran supaya bisa menolong membuka pintu.
“Pak, tolong pak, banyak yang terjerat di pintu 13. Terkunci, tidak dapat keluar,” kata Eko saat berjumpa seorang aparatur.
Tetapi, bukanlah membantu, aparatur mengenakan seragam itu malah memaki-maki Eko.
“Jancok, rekan saya ada juga yang terkena!” hardiknya.
Aparatur itu lalu akan memukul Eko tetapi sukses ditangkis oleh temannya.
Tidak berserah, Eko lari kembali menyisir segi luar stadion untuk cari bantuan. Ia pada akhirnya berjumpa anggota penyelamatan laga.
Tetapi, semua sudah telat. Saat Eko dan petugas keamanan bertandang ke pintu 13, banyak antara Aremania yang terkapar tidak bernyawa.
Di lantai dekat pintu 13, Eko menyaksikan banyak wanita dan anak-anak terkapar bertumpuk-tumpuk—lemas, meregang nyawa.
***
EKO tiba-tiba termenung, stop memberi kesaksian mengenai malam ironis itu. Badannya melunglai sampai rebah di pangkuan Yuli yang berada di sebelahnya.
“Tidak kuat saya mas,” katanya.
Aremania dari area Dau itu menangis meraung-raung. Yuli Sumpil lalu menyeka-usap punggungnya, menentramkan.
“Yang kuat… tidak apapun, katakan saja,” kata Yuli.
Eko dan Yuli datang sebagai saksi dalam pertemuan jurnalis Liga Komisi untuk Orang Lenyap dan Korban Tidak Kekerasan, Malang, Senin 3 Oktober 2022.
Mereka ialah penyintas bencana Kanjuruhan dua hari kemarin, yang menyebabkan beberapa ratus Aremania wafat. Bencana itu berawal dari shooting gas air mata polisi ke tribune pemirsa.
“Gate 13 itu ibarat makam massal mas, banyak wanita dan anak-anak.”
Sesudahnya, Eko kembali menangis.
KORBAN NYAWA DEMI CUCU
TEMPIK sorak bergema di seluruh penjuru Stadion Kanjuruhan, Krajan, Kedungpedaringan, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, saat Arema Malang bertanding menantang seteru abadinya, Persebaya.
Ahmad Wahyudi bersama istrinya Sulastri, ikut juga terlarut dalam deru massa Aremania. Dengan mereka, ada ke-3 sepupu, menantu, dan cucunya.
Tetapi keriaan itu saat itu juga beralih menjadi menakutkan saat polisi dan TNI menepis beberapa Aremania yang masuk lapangan akan bersalaman dengan scuad kecintaannya.
Wahyudi yang berumur 40 tahun ajak si istri dan semua keluarganya untuk keluar terlebih dahulu karena keadaan mulai tidak asyik dilihat.
“Mari bu, kita keluar saja,” kata Wahyudi.
“Mengapa pak?” jawab Sulastri.
“Tidak baik anak kecil saksikan seperti ini. Kita keluar saja mencari makan, dibanding cucu saksikan ini.”
Sulastri dan yang lain ikuti cara Wahyudi ke arah tangga ke pintu keluar tribune nomor dua belas.
“Bu, pegangan besi agar tidak jatuh,”
Sulastri mengikuti pengucapan si suami—usianya telah masuk kepala lima, badannya tidak lagi kuat jika melalui anak tangga.
Dalam kurun waktu bertepatan, Sulastri sempat menyaksikan benda berasap melayang-layang di atas kepalanya. Saat itu juga matanya berasa perih.
Benda itu gas air mata yang ditembakkan polisi dari tepi lapangan.
Karena sangat perihnya, Sulastri tidak dapat buka mata. Di kesempatan paling akhir menyaksikan, dia menggandeng tangan Wahyudi.
“Pegangan semua, pegangan,” perintah Wahyudi.
Wahyudi ada paling depan, dituruti Sulastri, menantu, cucu, dan ke-3 sepupunya.
Dari sekitaran tangga, tepatnya di tribune nomor 12, Aremania yang lain banyak berteriak ketakutan. Polisi menembaki mereka menggunakan gas air mata.
Untuk selamatkan diri, pemirsa segera ke tangga ke arah pintu 12, hingga Wahyudi satu keluarga harus menantang arus massa untuk sampai ke gerbang.
Beberapa ratus orang berdesakan, cari jalan keluar. Tetapi, pintu 12 cuma dibuka satu segi.
Wahyudi cari langkah supaya bisa selamatkan ke enam anggota keluarganya. Sambil terus berpegangan tangan, mereka menyodok dekati pintu.
Sementara dorongan Aremania dari arah belakang makin kuat. Tidak sangsi, pegangan Wahyudi dengan ke enam keluarganya lepas.
Sulastri terumbang-ambing di tengah-tengah massa yang berdesak-desakkan. Dia tergerak ke sana-ke silahkan oleh supporter yang ingin selamat.
Dada Sulastri makin sesak, ke-2 matanya tidak dapat menyaksikan karena perih. Dalam hati, dia cuma pasrah jika harus mati di pintu 12. Sesudahnya, ia tidak sadar diri.
Saat siuman, Sulastri malah harus terima berita jelek: suaminya meninggal. Sementara cucu, menantu, dan ke-3 sepupunya sukses keluar selamat dari stadion.
“Bapak wafat untuk selamatkan kami dan cucunya,” kata Sulastri, Senin 3 Oktober.
Suaranya masih parau. Sulastri bersama belasan penyintas bencana Kanjuruhan terlarut dalam duka cita yang serupa di kantor Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, saat kenang kembali kejadian itu.
‘Kenapa kami ditembaki?’
AULIA Rahman Maksum sebetulnya belum juga kuat untuk kembali lagi ke Stadion Kanjuruhan, sesudah dua hari kemarin terjerat antara Aremania yang akan selamatkan diri.
Senin siang, Aulia masih menggunakan pakaian seragam. Dari sekolahnya, SMK Negeri 1 Kepanjen, ia bersama beberapa temannya memperkuat hati untuk kembali lagi ke stadion, untuk berdoa untuk beberapa korban.
Sabtu malam akhir minggu lalu, Aulia bersama enam temannya melihat pertandingan Arema Versus Persebaya. Mereka tidak ingin melewati big match Liga Indonesia itu.
Aulia bersama beberapa temannya beli ticket dan duduk di tribune 14. Sejauh laga, tidak ada peristiwa apa saja.
Tidak juga ada perkelahian antarsuporter. Karena, tidak satu juga Bonek—suporter Persebaya—diperkenankan melihat pertandingan.
Tetapi, sesudah laga usai, turun salah seorang simpatisan ke lapangan, bertandang ke management Arema.
“Jika saya, cuma diam di tribune. Tetapi sesudah seseorang pertama turun, sebagian orang yang lain turut,” kata Aulia.
Susul selanjutnya polisi bawa senjata gas air mata masuk ke lapangan. Mereka tembak ke keramaian yang berada di lapangan.
Parahnya, shooting itu ditujukan ke tribune 14. Walau sebenarnya, tidak ada satu juga Aremania yang usaha manjat pagar masuk ke lapangan.
“Saya sesali itu, mengapa shooting ditujukan ke kami. Justru, orang yang ada di lapangan itu aman,” kata Aulia.
Tribune 12 dan 14 jadi target polisi tembakkan air mata. Tidak sangsi, Aremania di ke-2 tribune itu terkuasai kecemasan dan berdesakan ke pintu keluar supaya selamat.
Saat itu, Aulia berdiri paling depan. Tepat di muka pagar. Terdekat sama polisi. Di tribune 14. Asap gas air mata telah bergelayut pekat pada udara.
Dia tak lagi memerhatikan keadaan sekitaran. Aulia tidak dapat menyaksikan. Matanya pedih. Bernapas juga sulit.
Pemikirannya waktu itu hanya harus dapat keluar stadion. Aulia cuma dapat dengar pekikan. Ada pula yang melemparkan cacian ke polisi yang tidak henti tembakkan gas air mata.
“Suara yang terbanyak saya dengar itu cewek. Ada pula suara anak-anak. Tetapi, saya tidak dapat menyaksikan apa saja. Jalan saja cuma dapat meraba sekitaran,” katanya.
Ketika sampai di gerbang keluar, pintu masih tertutup rapat. Benar-benar padat manusia di tangga. Sama-sama dorong tidak lagi terhindar.
Aulia telah ada di tengah tangga. Pada detik tertentu, ada dorongan di atas, pada akhirnya semuanya orang di tangga jatuh.
Daya ingat Aulia cuma sampai di sana. Karena detik seterusnya, ia tidak sadarkan diri.
“Saat jatuh, sama-sama tindih. Orang paling bawah itu wafat. Sangat banyak yang semacam itu. Saya saja tidak sadarkan diri. Saat sadar, telah di ruangan VIP,” kata Aulia.
Aulia baru siuman Minggu subuh, sekitaran jam empat. Rupanya, beberapa temannya lah yang selamatkannya.
Tak ada serangan ke pemain Persebaya
DADANG Hermawan, seorang Aremania, berani bersumpah tidak ada satu juga dari mereka yang serang pemain Persebaya saat masuk ke lapangan sehabis pertandingan. Karena itu, ia berasa ganjil, mengapa polisi langsung melepaskan shooting gas air mata.
“Sesudah wasit tiup semprit 3x, dua rekan dari bidang Timur turun tidak serang pemain Persebaya. Karena pemain Persebaya telah masuk ruangan tukar,” katanya.
Ia menjelaskan, Aremania yang masuk lapangan tidak ada yang punya niat jelek, apa lagi melakukan perbuatan gaduh walau Arema Malang kalah dalam pertandingan itu.
“Nawak-nawak (teman-teman) cuma menyalami dan mendukung pemain Arema. Kemudian ditangkap steward.”
Steward—petugas keamanan laga—meminta Aremania yang masuk ke lapangan untuk naik kembali lagi ke tribune.
Tetapi, Aremania dari tribune utara ke lapangan karena menduga ada kerusuhan di antara petugas keamanan dengan teman mereka.
“Spontan turun disangka gegeran (ribut),” katanya.
Selang beberapa saat, aparatur memberi respon dengan perlakuan represif.
“Membawa tameng dan senjata bubarkan kami. Saya anggap cukup, rupanya tembakkan gas air mata.”
Shooting itu langsung membuat Aremania berlarian selamatkan diri. Bahkan juga ada yang ngotot terjun dari pagar stadion.
“Mereka lari selamatkan diri ke lapangan tengah tidak untuk serang petugas. Mereka selamatkan diri dari gas air mata,” papar Dadang.
Gas air mata mengepung tribune. Dirasanya gas itu benar-benar perih dan menusuk.
Dia memandang gas itu tidak untuk menepis massa, tetapi gas air mata untuk perang.
“Berdasar literatur yang saya baca, gas itu (bencana Kanjuruhan) di kulit saya perih sekali. Bahkan saat ini saya masih sesak.”
Dadang sendiri waktu itu putuskan lari ke tribune VIP. Sampai di situ, begitu terkejutnya ia menyaksikan beberapa Aremania terkapar tidak bernyawa, terhitung rekan ngopinya.
“Saya dapatkan rekan saya telah wafat,” kata dadang, menangis.
***
DUA hari sesudah bencana Kanjuruhan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melepas Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat.
Presiden Jokowi memerintah aparatur penegak hukum menginvestigasi habis bencana itu. Tetapi, tidak ada yang diputuskan sebagai terdakwa.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyangka ada pelanggaran HAM oleh aparatur kepolisian atau TNI dalam bencana Kanjuruhan. Sedikit-dikitnya, hal tersebut terekam saat aparatur menyepak dan memukuli Aremania yang jalan.
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menyebutkan prajuritnya yang terekam video menyepak Aremania bukan wujud pertahanan diri, tetapi perlakuan pindana. Ia janji menginvestigasi dan menggeret si prajurit ke pengadilan militer.