PORTALISLAM.CO.ID – Al-Hamdulillah, semua puji punya Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam atas Rasulillah -Shallallahu ‘Alaihi Wasallam- keluarga dan beberapa teman dekatnya.
Seorang lelaki mencerai istrinya yang hamil. Umur kandungannya telah delapan bulan. Dia dikasih tahu jika cerainya itu tidak syah. Apakah benar kepercayaan itu?
Pertanyaan itu diulas dalam islamway.net dan dijawab ulama ahli fiqih Syaikh Prof Khalid Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, jika menceriakan istri yang hamil bukan pisah bid’ah, tapi pisah syar’i (syah menurut syariat); meskipun dia sudah menjamahnya saat sebelum jatuhkan talaknya.
Beliau mendasarkan ke hadits Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ke Abdillah bin Umar saat dia mencerai istrinya yang haid,
راجعها ثم امسكها حتى تطهر، ثم تحيض ثم تطهر ثم طلقها إن شئت طاهراً قبل أن تمسها أو حاملا
“Rujuklah kepada istrimu yang sudah kamu cerai itu. Tetaplah dengannya sampai ia suci dari haid, lalu haid kembali kemudian suci lagi. Setelah itu silakan kalau kamu ingin menceraikannya: dapat saat istri suci saat sebelum kamu gauli, ataupun waktu ia hamil.”
Ini sesuai persetujuan beberapa ulama, jika bisa menceraikan istri pada keadaan hamil. Adapun asumsi yang menyebar di tengah-tengah warga pemula, jika wanita hamil tidak syah diceraikan, ialah asumsi yang salah.
Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah, bingung dengan pengetahuan yang menyebar di kelompok orang pemula ini. Yakni wanita yang hamil jangan dicerai dan cerainya tidak syah. “Saya tidak paham darimanakah kepercayaan ini sampai ke mereka,”sambungnya.
Menurut beliau, penglihatan ini tidak mengambil sumber dari ulama dan tidak mempunyai dasar alasan. Bahkan juga, persetujuan beberapa ulama yang tidak ada khilaf didalamnya, wanita hamil bisa dicerai.
Periode ‘iddah wanita hamil yang diceraikan hingga dia melahirkan bayinya. Ini didasari ke firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan wanita-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Al-Thalaq: 4)
Suaminya barusan bisa merujuknya (kembalikan istri ke pernikahannya) sepanjang dia masih di periode ‘iddahnya; belum melahirkan. Ini berlaku pada talaq pertama dan ke-2 . Dia bisa merujuknya tanpa ikrar nikah baru.
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berbicara, “jika seorang lelaki mencerai istrinya dengan talaq pertama atau ke-2 , dan sitrinya pada keadaan hamil, karena itu dia memiliki hak untuk meruju’nya sepanjang belum melahirkan. Berikut tujuan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
“Jangan mereka menyembunyikan apa yang dibuat Allah dalam rahimnya, bila mereka beriman ke Allah dan hari akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 228)
Untuk wanita yang diceraikan dengan talaq raj’i jangan keluar rumah suaminya dan jangan juga ditendang darinya hingga usai periode ‘iddahnya. Ini berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
“Jangan sampai kamu mengeluarkan mereka dari tempat tinggalnya dan jangan sampai (dibolehkan) keluar terkecuali bila mereka kerjakan tindakan bengis yang terang.” (QS. Al-Thalaq: 1)
Seorang wanita yang diceraikan pertama atau ke-2 dan masih ada di periode ‘Iddahnya dia masih tetap ada di rumah suaminya. Diharap ke-2 nya dapat balik lagi ke perkawinannya. Wallahu A’lam.
Oleh: Badrul Tamam