PORTALISLAM.CO.ID – Rezeki adalah apa yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, apakah halal atau haram, baik atau buruk. Demikian ditulis oleh Syekh Muhammad Mutawali Asy-Sya’rawi dalam kitabnya, Ar-Rizqu.
Dengan definisi itu, lanjut Syekh Mutawali, semua yang tidak Anda manfaatkan, meskipun Anda memilikinya, berarti bukanlah rezeki Anda akan tetapi rezeki orang lain.
Seirama dengan pengertian ini, Dr. Muhammad Ali Hasan, dalam bukunya yang ditranslate jadi “Koreksi Teologis Sekitar Tawakal, Rizki dan Ajal” (Al-Izzah, 2000), menyebutkan rejeki sebagai segala hal yang dapat digunakan oleh manusia. Pengertian ini, menurut Ali Hasan, ialah pengertian yang mendalam dan lengkap.
Rejeki tidak terus-terusan materi. Upah, pendapatan, gaji, uang, atau semacamnya bukan salah satu wujud rejeki. Keluarga berbahagia, istri salehah, anak turunan saleh-salehah, waktu lega, tubuh yang sehat, rekan yang membahagiakan, sebagai rejeki.
Rejeki, apa halal atau haram, baik atau jelek, semua hadirnya dari Allah SWT. Rejeki ditetapkan oleh yang di langit, ditakdirkan oleh Allah SWT.
Allah berfirman: “Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha [20]: 132)
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. asy-Sura [42]: 19)
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. al-Maidah [5]: 88)
“Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. al-Baqarah [2]: 212)
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Fathir [35]: 3)
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Shahih-nya, jika Nabi Saw bersabda: “Andaikan kamu tawakal ke Allah dengan sebenar-benar tawakal, karena itu tentu (Allah memberikanmu) rejeki, seperti satu ekor burung (yang pada pagi hari terbang keluar sarangnya, red) pada kondisi lapar, tapi (pulang pada sore hari-peny) pada kondisi kenyang.”
Berdasar dalil-dalil di atas, dimengerti jika Allah-lah yang memberi rejeki ke manusia. Allah SWT ialah Dzat Pemberi rejeki. Satu kali lagi, rejeki itu semata-mata ada di tangan Allah saja. Firman Allah:
“Katakanlah: ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?’ Maka mereka akan menjawab: ‘Allah’.” (QS. Yunus [10]: 31).
Dan tugas bukan pemicu hadirnya rejeki. Dia cuma satu keadaan (al-haal) yang disana rejeki terkadang didapat, dan terkadang melenceng.
Akan tetapi, Islam tiba dengan menggerakkan langsung manusia untuk berusaha raih rejeki dengan jalani ‘keadaan’ (al-hal) barusan. Dibarengi dengan kepercayaan jika ‘keadaan’ itu bukan pemicu hadirnya rejeki. Karena, rejeki berada di tangan Allah SWT saja, bukan lantaran dilewatinya ‘keadaan’ itu.
Allah SWT berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (QS. al-Mulk [67]: 15)
Sabda Rasulullah Saw: “Tidak akan memberatkan bagi siapa saja yang bekerja keras.”
Diriwayatkan juga jika Rasulullah pernah memberikan makan keluarganya dengan pinjam uang dari orang Yahudi, sambil mengagunkan pakaian besinya.
Semua memperlihatkan wajibnya usaha untuk mendapat rejeki. Allah SWT mengharuskan bekerja untuk lelaki, dan diharamkan untuk diam diri (tidak bekerja) dan tidak bekerja dalam rencana raih rejeki.
Meski begitu harus diingat jika ketika seorang bekerja, dia harus menganggap sebagai ‘keadaan’ saja dari beragam kondisi yang umumnya sanggup datangkan rejeki . Maka bekerja bukan sebagai karena (yang jelas) hasilkan rejeki.
Bekerja itu ialah jawaban kita pada perintah Allah SWT, dibarengi kepercayaan jika rejeki itu berada di tangan Allah saja. Allah-lah Yang Maha Pemberi rejeki. Ini sudah diterangkan dengan jelas dalam beragam nash yang menisbahkan dan menyandar rejeki cuma ke Allah. Tidak ada nash yang menyandar dan menisbahkan rejeki selainnya ke Allah.
Dengan begitu golongan muslimin harus usaha untuk raih rejeki dengan benar-benar. Dan memberikan perhatian pada tiap ‘keadaan’ yang memungkinkan sanggup datangkan rejeki, walau harus tetap dibarengi kepercayaan jika rejeki itu berada di tangan Allah saja, karena Dia Yang Maha Pemberi rejeki. Wallahu a’lam.