PORTALISLAM.CO.ID – Portal Islam Jawa Timur, Saat meninggal dunianya Rasulullah, pemecahan mulai terlihat, seperti penyeleksian tempat disemayamkan mayat Nabi dan siapakah yang memiliki hak gantikan Nabi sebagai kepala negara. Teman dekat Anshar melihat kedudukan khalifah jatuh pada kalangannya karena dianya sebagai penolong Nabi sampai Islam berkembang cepat. Beberapa kisah menjelaskan, kedudukan khalifah jatuh pada kelompok Bani Hasyim.
Konflik ini dapat ditangani saat khalifah Abu Bakar Shiddiq ra dipilih sebagai khalifah pertama. Selanjutnya diteruskan oleh Umar bin Khattab ra sebagai khalifah ke-2 . Tetapi di periode khalifah Utsman bin Affan ra dan Ali bin Abi Thalib ra, terjadi pemecahan yang paling serius. Dari akar persoalan itu, muncul usaha merangkum hujjah dan melahirkan mazhab di bagian akidah, fikih dan tasawuf.
Masalah politik tersangkut terbunuhnya Utsman oleh pemberontak, membuat Gubernur Syam Suriah yang famili Utsman, yaitu Mu’awiyah bin Abu Sufyan menampik Ali sebagai khalifah, karena tidak dapat memberi hukuman mati pembunuh Utsman.
Seperti dikatakan oleh Imam Suyuthi dalam kitab Tarikhul Khulafa jika instabilitas negara jadi tugas yang demikian besar oleh khalifah Ali. Riwayat menulis, 12 tahun lama waktunya Utsman memegang sebagai kepala negara. Sepanjang enam tahun mahir pimpin negara. Dengan kehalusannya jadi daya magnet rakyat.
Enam tahun akhir di periode kepimpinan Utsman, dia dipandang lambat dan kurang tegas pimpin negara. Salah satunya masalahnya ialah tidak berani mengeluarkan aparatur negara yang kurang mumpuni. Bahkan juga Utsman mengusung kelompok keluarga jadi aparat pemerintahan waktu itu.
Di hari Jum’at, 18 Dzulhijjah 35 H, khalifah Utsman terbunuh oleh 2 pemberontak yang tidak terang identitasnya. Mayat disemayamkan di Baqi sebagai cikal akan dipendamkannya dzurriyah Nabi.
Secara bersejarah, Ali dibaiat sebagai khalifah ke-4 dengan argumen orang yang pertama masuk Islam, orang yang dekat sama Nabi, bahkan juga kelompok keluarga Nabi dan menantunya (suami Sayyidah Siti Fatimah Az-Zahra).
Dijumpai, sebetulnya Ali menampik kedudukan itu. Dia berasa lebih patut memegang sebagai gubernur dibanding jadi kepala pemerintah. Atas tekanan teman dekat, Ali minta opini dari teman dekat yang turut berperang dalam perang Badar, yaitu Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Ke-3 nya memberi lampu hijau supaya Ali terima kedudukan itu, karena keadaan negara memerlukan pimpinan saat meninggal dunianya Utsman.
Dibaiatnya Ali sebagai khalifah, membuat Mu’awiyah menampik dan malas berbaiat dengan argumen: Ali tidak memberi hukuman pembunuh Utsman dan dibaiatnya seorang khalifah harus mengikutsertakan banyak faksi, ingat daerah kekuasaan politik Islam benar-benar luas atau mungkin tidak cuma Madinah saja. Kisah lain menjelaskan, Ali mempunyai kemauan melepas kedudukan Mu’awiyah sebagai wujud sterilisasi dari aparat pemerintahan yang tidak satu misi dengannya.
Ketidaksamaan opini tersebut yang mengakibatkan bencana berdarah, yaitu perang Shiffin atau perang saudara antara sama-sama Islam yang pertama yang tewaskan lebih kurang 60 ribu orang. Perang itu terjadi selam tiga hari di sungai Efrat Suriah di tanggal 08-10 Shafar 37 H/ 26-28 Juli 657 M.
Beragam usaha dilaksanakan buat hentikan perang itu. Pucuknya faksi Mu’awiyah mengikatkan Al-Qur’an di tombak dan mempertingginya sebagai kode perdamaian. Berikut yang disebutkan tahkim (arbitrase), kesepakatan yang dibikin berdasar Al-Qur’an dan sunnah. Juru runding faksi Ali ialah Abu Musa Al-Asy’ari. Dan faksi Mu’awiyah ialah Amr bin Ash.
Sebanarnya, Ali dan Mu’awiyah tidak mau konflik berkenaan kedudukan kekhalifahan. Ini dipacu oleh beberapa simpatisan kedua pihak. Simpatisan Mu’awiyah menduga pasukan Ali akan menzalimi seperti menzalimi Utsman. Dan pasukan Ali menduga yang membunuh Utsman.
Di sisi lain, ada beberapa yang menginginkan perang karena mereka memiliki pendapat jika masalah yang terjadi waktu itu tidak bisa ditetapkan lewat tahkim. Keputusannya cuma tiba dari Allah dengan kembali ke hukum yang berada di dalam Al-Qur’an, la hukma illa lillahi (tidak ada hukum selainnya dari hukum Allah) sebagai semboyan mereka. Kelompok berikut yang melihat Ali sudah melakukan perbuatan salah hingga dia tinggalkan barisannya. Mereka dikenali nama Khawarij, yakni beberapa orang yang keluar dan memisah diri atau pecahan Ali.
Berlainan dengan Syiah, barisan yang setia pada Ali. Bahkan juga kelompok ini memandang Ali jadi orang yang paling memiliki hak jadi khalifah saat meninggal dunianya Rasulullah. Teman dekat awalnya dipandang tidak syah, karena ambil hak Ali bin Abi Thalib ra.
Bila ditelaah, perang Shiffin dilatar belakangi ketidaksamaan ijtihad yang pada akhirnya jadi ulur tarik terbunuhnya khalifah Utsman. Faksi Mu’awiyah menjelaskan, faksi Ali harus memberi hukuman qishash pembunuh Utsman. Bila tidak disingkap, jadi tidak pantas dibaiat sebagai khalifah.
Dan faksi Ali menjelaskan, keadaan negara yang carut-marut ini tidak dapat ceroboh dengan memberi hukuman pembunuh Utsman yang tidak terang identitasnya. Untuknya, perlu situasi yang aman dan satu suara dari seluruh pihak. Atas dasar pemikiran berikut Ali tidak tergesa-gesa.
Dengan begitu, Mu’awiyah memandang Ali tidak pas dalam memutuskan. Dan faksi Ali memandang triknya salah. Dari cerita ini, Nahdliyin harus berprasangka baik pada teman dekat Nabi. Janganlah sampai mencemooh teman dekat. Karena Rasulullah larang umatnya untuk mempersalahkan ijtihad beberapa teman dekat. Andaikan ada kekeliruan dalam ijtihadnya, karena itu maafkanlah. Oleh karenanya akan mendapatkan pahala dari Allah.